MAKALAH
EKOLOGI
PEMERINTAHAN
EVALUASI
PELAKSANAAN OTSUS DI PAPUA
OLEH :
KELOMPOK I
PRODI ILMU
PEMERINTAHAN
SEMESTER VII
KELAS B
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SORONG (UMS)
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa.
Keputusan politik penyatuan Papua (semula
disebut Irian Barat kemudian
berganti menjadi Irian Jaya)
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum
sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya
kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum,
dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi
timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang
lebih baik. Sehubungan dengan itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun
1999 dan
2000 menetapkan perlunya pemberian status
Otonomi Khusus kepada Provinsi Papua. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang
positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi
berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah
di Provinsi Papua.
Namun setelah kurang lebih 13 tahun berjalan diperlukan
evaluasi dari pelaksanaan otsus tersebut ditambah maraknya pemekaran ditanah
papua. Maka dari itu menjadi latar belakang kami akan membahas terkait pelaksanaan
otonomi khusus di Papua.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
Latar belakang di atas maka masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini
adalah Bagaimana Pelaksanaan Otonomi
Khusus Di Papua?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Otsus Di Papua
Otonomi khusus (otsus) di tanah Papua sudah
berlangsung 13 tahun. Namun, perkembangannya tidak sesuai harapan.Tingkat
kemiskinan masih terbilang tinggi, padahal anggaran otsus yang digelontorkan
mencapai puluhan triliun rupiah.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Djohermansyah Djohan penah menjelaskan, evaluasi pelaksanaan otsus di Papua
menunjukkan masih ada masalah di aspek kebijakan dan pada implementasi
kebijakan. Di aspek kebijakan, masih ada beberapa turunan aturan pelaksanaan
yang belum dibuat.
Hal itu disebabkan kurangnya sinergitas
pemerintah daerah, DPR Papua, dan Majelis Rakyat Papua. Salah satunya adalah
Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan penerimaan dana otsus. Pola dan
mekanisme hubungan kerja antara pemerintah daerah, DPRP, dan MRP belum jelas.
Dari sisi implementasi, ada peningkatan pada
angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah,
penambahan infrastruktur kesehatan dan tenaga medis, serta penurunan persentase
penduduk miskin. Pada 2011, persentase penduduk miskin di Papua 31,98 persen,
sedangkan di Papua Barat 28,2 persen.
Namun, menurut Gubernur Papua Barat Abraham
Atururi, meski ada penurunan persentase penduduk miskin, Papua Barat masih
menempati urutan kedua provinsi termiskin. Jumlah pengangguran terbuka juga
masih berkisr 5,5 persen, kendati sudah menurun ketimbang tahun 2009 sebesar
7,73 persen.
Di sisi lain, meskipun struktur ekonomi
Papua Barat didominasi sektor industri pengolahan, terutama produksi LNG
Tangguh, sampai saat ini manfaatnya belum dirasakan masyarakat dan pemda. Laju
pertumbuhan ekonomi juga tidak berkorelasi positif pada kesejahteraan rakyat.
Pemerintah juga menilai otsus belum optimal
karena masih ada perbedaan persepsi pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota atas pelaksanaan otsus. Selain itu, kualitas dan kuantitas
pelaksana otsus masih minim.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi dan
Sinkronisasi Perencanaan dan Pendanaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat (UP4B) M Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan, kegagalan otsus
juga disebabkan lemahnya pengendalian dan pengawasan pengelolaan dana otsus
oleh pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan,
maupun Bappenas.
Padahal, sepanjang 2002 sampai 2012,
Provinsi Papua menerima Rp 28,445 triliun dana otsus dan Rp 5,271 triliun dana
infrastruktur. Adapun Provinsi Papua Barat yang terbentuk sejak 2008, sudah
menerima Rp 5,409 triliun dana otsus dan Rp 2,962 triliun dana infrastruktur.
B. Otonomi khusus Di Papua Dinyatakan Gagal
1.
Indikasi
Kegagalan
Rendahnya tingkat kesejahteraan untuk orang asli Papua.
Bidang Kesehatan, Keadaan kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001 – 2009.
Waupun penerapan Otonomi Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun,
persoalan kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan
hasil survei kematian Ibu pada Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang
seharusnya hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan
7.150 bayi yang meninggal. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup.
Sebanyak 47.709 balita yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal.
Angka kematian Balita yakni 64/1000 kelahiran hidup. ( Hasil survey Foker LSM
Papua tentang keadaan kesehatan di Papua, 2005 ).
Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV
dan AIDS di Tanah Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi
Papua dan Papua Barat yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret
2008 menyebutkan bahwa : 1). Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan
AIDS adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV : 2.181
Orang, sedangkan AIDS 1.773 Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah
1600 HIV dan AIDS, dari kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli Papua.
Bidang Pendidikan, menyebutkan bahwa alokasi anggaran
penddikan Provinsi Papua tahun 2009 sebesar Rp 242,06 M. Jumlah ini serata
dengan 4,71 % dari APBD atau 9,28 % dari dana Otsus. Jika menggunakan
ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang menetapkan alokasi
anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD, anggaran pendidikan Papua Tahun
2009 ini seharusnya minimal sebesar Rp 1,03 Triliun. [4]
Diantara geliat pembangunan dan kelimpahan uang pada era
Otsus, tentu masih saja ada kondisi yang kontras. Sebagian besar orang asli
Papua seakan masih terjerembab dalam jurang kemiskinan dan termarginal sehingga
cenderung menuntut perbaikan nasib mereka. Bahkan tuntutan itu dari waktu ke
waktu terus menguat menjadi aspirasi pemisahan Tanah Papua dari NKRI.
Etnonasionalisme Papua pun semakin subur. Teriakan “Otsus Gagal, Referendum
Yes,” seakan menjadi spirit bagi massa demonstran rakyat Papua pada setiap kali
ada aksi demonstrasi di sejumlah Kabupaten/Kota, dan pengibaran bendera OPM.
Banyak pihak di Papua menuding Otsus tidak bisa menjawab keluhan dan
permasalahan pembangunan yang dihadapi orang Papua.[5]
Indikasi kegagalan Otsus Papua terlihat pada beberapa
aspek seperti, masih sulitnya masyarakat di kampung-kampung dalam mengakses
layanan kesehatan dan pendidikan yang baik. Hingga kini rakyat Papua masih
terus bergumul dengan masalah kesehatan seperti, kasus kematian ibu melahirkan
dan bayi baru lahir, gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta hingga
penyakit lainnya. Di bidang pendidikan, masih banyak anak-anak asli Papua yang
tidak bisa bersekolah di daerah-daerah pedalaman, masih banyak anak putus
sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di kampung-kampung, adanya
keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal.
Menurut Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. DR.
Berth Kambuaya, M.BA, mengatakan bahwa permasalahan pembangunan selama Papua
menjadi bagian NKRI terjadi karena ada sesuatu yang salah (something wrong).
“Saya berpendapat bahwa strategi dan pendekatan pembangunan yang dilaksanakan
di Tanah Papua selama puluhan tahun lebih banyak di dominasi oleh kebijakan dan
pendekatan politik, dari pada pendekatan-pendekatan kesejahteraan,”.
Menurutnya, akibat dari model pendekatan seperti itu, telah menciptakan
ketergantungan yang sangat kental di kalangan masyarakat asli Papua.
Ketergantungan itu menurut Kambuaya, tampak dalam bentuk ketergantungan
Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) kepada Pemerintah Provinsi, maupun
ketergantungan kabupaten/kota dan Provinsi kepada Pemerintah Pusat.
Otonomi khusus yang berlaku di Papua sejak 2001 tidak
berjalan sesuai harapan masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan
disana-sini. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat Papua sering
merasa tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya. Padahal, pendekatan
kesejahteraan diyakini adalah solusi yang paling mujarab untuk permasalahan di
Papua, dan itu pula yang melandasi diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua.
Kini, pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus Papua pun
semakin terdengar dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002 hingga 2010 sudah
dicairkan pemerintah pusat mencapai Rp28,8 triliun kepada Provinsi Papua dan
Papua Barat. BPK hingga kini baru melakukan audit sebesar 66,27% dari
keseluruhan dana tersebut (atau baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses
audit yang dilakukan telah menemukan ada indikasi penyelewengan Rp319 miliar.
Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan
penyelewangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua tersebut.
Menurut penulis, perlu kemudian untuk menyamaratakan
dan memberlakukan hukum yang sama terhadap elit-elit Papua yang terbukti
korupsi harus diadili, tapi kalau kita lihat selama ini, mau diperiksa
sedikit-sedikit keluar bahasa mardeka, sehinga pemeriksaan terhadap kasus
korupsi tidak serius di Papua, tujuannya supaya rakyat Papua bijak dan
lebih jernih melihat akar persoalan, jangan sedikit-sedikit menyalahkan pusat
dengan mengatakan otsus gagal, tanpa kemudian elit lokal Papua tidak mengevaluasi
diri, pusat evaluasi tapi elit lokal harus mengevaluasi diri juga, melihat
pelayanan dan korupsi yang dilakukan oleh elit di Papua sendiri, sehingga
membuat rakyatnya semakin miskin.
2.
Faktor
Penyebab Otonomi Khusus Gagal di Papua
Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otonomi
Khusus Papua itu memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang
terjadi akhir-akhir ini. Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah
ikut memberikan sumbangsi pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut
hubungan Papua-Jakarta. Menurut penulis ada (empat) faktor-faktor yang
menyebabkan otonomi khusus gagal di Papua.
·
Kegagalan implementasi
pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta
sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan
pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan.
·
Data hasil kajian demokrasi
(Democratic Center) Tahun 2010 Universitas Cenderawasih, menyimpulkan penyebab
Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif diantaranya; Permasalahan masih
terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan
perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional
(kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang
diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum
optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan
DPRP) di Papua.
·
pemerintah pusat tidak serius,
tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat pemerintahan
daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
indikasi kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam penggunaan dana otonomi
khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp19,1 triliun,
ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp319 miliar.
·
kontradiksi sejarah dan
konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi
politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam bagian NKRI.
Artinya, anggapan pertama masyarakat Papua tentang ilegalnya hasil Pepera
tersebut masih terus menguat. Anggapan tokoh masyarakat Papua, Pepera
yang lama tidak fair dan memutarbalikkan sejarah Papua sebagai sebuah entitas.
Sementara pemerintah RI tetap yakin hasil Pepera itu sah sesuai 'New York Agreement'1962 dan
Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi
2505, pada tanggal 19 November 1969. Tidak ada yang harus diragukan.
·
diskriminasi terhadap orang
asli Papua dan kekerasan negara terhadap orang Papua di masa lalu.
Perlunya jalan dialog yang melibatkan komponen-komponen di Papua dengan
Pemerintah Pusat seperti yang pernah dilakukan kepada Aceh. Perlunya jalan
rekonsiliasi diantara pengadilan HAM dan pengungkapan kebenaran kejahatan
aparat keamanan negara terhadap orang Papua di masa lalu demi penegakan hukum
dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya dan warga Indonesia
secara umum. Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian itu, Muridan S.
Widjojo bersama tokoh intelektual Papua, Dr.Neles Tebay lebih jauh telah
menggagas wacana Dialog Papua-Jakarta. Hanya saja, wacana dialog itu sampai
saat ini belum direspon positif oleh para pihak di Papua dan Jakarta.[7]
·
problem menyangkut dimensi
keuangan tampak pada pembagian dan pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak
dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya sebuah Perdasus. Sejauh ini
pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota
se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri
(terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran.
Dalam struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga
tidak ditemukan kuota dana sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen
untuk kesehatan. Pembagian dana Otsus yang besarnya 70 persen untuk Papua dan
30 persen untuk Papua Barat sejak tahun 2008 juga dilakukan dengan tanpa dasar
hukum.
3.
Solusi
Persoalan Otsus Papua
Bertolak dari sejarah dan fakta kegagalan Otonomi khusus Papua
sebagaimana uraian diatas, maka kami memberi
solusi yang mesti dilakukan Pemerintah dan Orang Papua guna mengakhiri berbagi
persoalan di tanah Papua sebagai berikut :
·
Dilakukan evaluasi secara
konferehensif atas pelaksanaan Otsus Papua selama 10 Tahun ( 2001–2011 ).
Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yakni Pemerintah Pusat dan Orang
Papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam evaluasi pemerintah maupun orang Papua
mengindentifikasi penyebab yang menghambat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
selama 10 tahun ini.
·
Setelah dilakukan Evaluasi oleh
masing–masing pihak Jakarta dan Papua kemudian guna mencari solusi yang tepat
dan bijak dalam penyelesaian Otonomi Khusus Papua secara spesifik dan persoalan
Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas mutlak dilakukannya dialog antara
Pemerintah dengan masyarakat Papua yang menyatakan Pelaksanaan Otonomi Khusus
“gagal” dilaksanakan di Tanah Papua.
·
Hukum harus ditegakkan
seadil-adilnya, artinya jangan pemerintah pusat atau dalam hal ini KPK
ragu-ragu untuk menangkap elit dan pejabat Papua dan meminta pertangung
jawabkan atas dana Otsus yang dipakai selama 10 Tahun, yang tidak
menyentuh masyarakat kecil, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, namun
selama ini terkesan menguntungkan elit Papua. KPK harus berani untuk
melakukan penyelidikan kemana saja dana Otsus digunakan? Ini meski
dilakukan dalam rangka refungsionalisasi pelaksanaan otonomi khusus di Papua
agar masih ada harapan rakyat Papua akan kesunguhan Pusat untuk mensejahterakan
dan respon terhadap Papua.
·
perlunya kebijakan rekognisi
untuk pemberdayaan orang asli Papua.Kelima, perlunya semacam paradigma
baru pembangunan yang berfokus pada pelayanan publik demi kesejahteraan orang
asli Papua di kampung-kampung.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan diatas, penulis
menyimpulkan bahwa Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih
sebagai solusi politik ketimbang
solusi kesejahteraan. Itu
sebabnya yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan
aspirasi merdeka.
Jalan panjang damai dan kesejahteraan di tanah Papua mengalami
komplikasi yang sangat serius. Setidaknya ada lima akar persoalan menjadi
faktor-faktor penyebab gagalnya otsus di Papua.
Diperlukan kerja keras yang baik dari segala lini untuk
mengoptimalkan pelaksanaan otsus di tanah papua agar bisa merealisasikan
cita-cita dan tujuan utama otsus itu diadakan.
B.
Saran
Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah
pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya
yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan aspirasi
merdeka.Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk rakyat Papua,
masyarakat memiliki ekspektasi yang sangat besar bahwa Otsus meningkatkan
kesejahteraan, namun berubah menjadi bencana bagi rakyat karena salah
kelola. Maka dari itu dibutuhkanlah tata kelola yang baik guna merubah
bencana itu menjadi berkah kembali seperti cita-cita awal diberlakukannya.